Minggu lalu tepatnya tanggal 5 Maret 2007 Kejaksaan Agung RI mengeluarkan surat pelarangan peredaran dan yang diikuti dengan penarikan buku teks sejarah tingkat Sekolah Menengah Atas dan Pertama. Pelarangan dan penarikan ini didasarkan atas penelitian Kejakgung RI sejak tahun 2005. Kebijakan ini diambil oleh Kejakgung RI dengan dasar penilaian bahwa buku teks sejarah yang menggunakan Kurikulum 2004 tidak mencantumkan keterlibatan PKI dalam pemberontakan Madiun 1948 dan tidak menuliskan kata “PKI” dibelakang peristiwa besar G 30 S. Itulah pendapat yang disampaikan oleh Muchtar Arifin, Jaksa Agung Muda Intelejen kepada Harian KOMPAS (Sabtu, 10 Maret 2007).
Kasak-kusuk tentang penarikan dan pelarangan buku teks sejarah yang menggunakan kurikulum 2004 ini bukanlah hal yang baru. Sejak rencana pemberlakuan kurikulum 2004 tersebut, sudah banyak perdebatan diantara banyak pihak. Perdebatan tersebut dipusatkan pada masalah seputar G 30 S dan peristiwa yang mengikutinya. Bahkan anggota DPR memanggil Mendiknas dan beberapa pelaku, saksi dan ahli sejarah untuk menyelesaikan masalah ini sejak tahun 2005. Peristiwa sekitar tahun 1965 dan proses peralihan kekuasaan memang sarat dengan kontroversi. Kontroversi yang melibatkan banyak pihak, tidak saja di dalam negeri, namun juga kepentingan luar negeri.
Banyak tokoh penting yang ikut angkat bicara mengenai masalah ini, diantaranya Taufik Ismail (Sastrawan Angkatan ’66), K.H. Yusuf Hasyim (Pelaku dan Saksi Sejarah), dan Asvi Warman Adam (sejarawan LIPI). Dua nama yang pertama disebut menginginkan supaya peristiwa G 30 S yang harus diajari ke siswa adalah G 30 S/PKI, dimana PKI memang biang keladi dari pembunuhan para jenderal AD dan kisruh politik yang terjadi setelah itu. Sementara Asvi Warman Adam, yang dikenal dengan tekadnya ingin meluruskan sejarah yang ditulis oleh Orde Baru, bahwa kurikulum 2004 yang mengedepankan alternatif analisa dari peristiwa G 30 S dari kacamata penelitian ilmiah yang terbaru. Bagi Asvi, seperti yang dikutip oleh KOMPAS, bahwa kebijakan penarikan dan pelarangan tersebut adalah suatu kemunduran dalam dunia pendidikan dan melanggar kaidah-kaidah ilmu pengetahuan.
Kemunduran itu bisa kita lihat dalam usaha pengingkaran terhadap sumber-sumber baru yang digunakan para sejarawan pasca reformasi. Fakta-fakta baru terungkap setelah reformasi bergulir. Harusnya fakta-fakta yang diangkat oleh para peneliti sejarah, maupun saksi dan pelaku, bisa menjadi rujukan baru bagi dunia pendidikan sejarah di Indonesia. Semakin banyak informasi berarti semakin luas wawasan yang didapatkan oleh penyusun buku teks, guru dan siswa tentunya.
Pendidikan Sejarah Bukan untuk Pembatasan Pengetahuan
Sejarah sebagai ilmu bukan bertujuan memberi kepastian seperti layaknya rumus Phytagoras terhadap segitiga siku-siku. Sejarah adalah sebuah penafsiran terhadap masa lalu manusia yang berasal dari rekaman tertulis, memori kolektif, folklore, mitos, dan rekaman visual. Penafsiran tersebut tentunya juga dipengaruhi oleh latar belakang si sejarawan itu sendiri. Karena masing-masing sejarawan tentunya punya mazhab, perspektif, dan paradigma yang berbeda dalam melihat masa lalu. Perbedaan penafsiran inilah yang membuat pemerintah Orde Baru mengambil kebijakan satu penafsiran terhadap sejarah. Penafsiran tunggal oleh Orde Baru hampir dipraktekkan di semua tema pelajaran sejarah. Karena Orde Baru juga adalah sejarawan juga yang diwakili oleh sejarawan yang disewa untuk menuliskan penafsiran menurut Orde Baru sendiri. Latar belakang politis berada di belakang penafsiran tunggal ini.
Melihat kebijakan Kejakgung sekarang ini, mengingatkan kita kembali kepada masa colonial Hindia-Belanda dan Orde Baru. Pada masa Kolonial Hindia-Belanda, pada tahun 1920, pemerintah Kolonial membentuk suatu badan sensor atas buku teks, yakni Balai Pustaka. Balai Pustaka atau badan sensor ini diharuskan menyeleksi mana buku yang boleh jadi pegangan bagi orang-orang Indonesia umumnya, dan para pelajar pada waktu itu khususnya. Bagi buku yang tidak lolos akan dicap sebagai “bacaan liar”, yang sangat dilarang oleh pemerintah koloni. Seperti novel Semaun yang berjudul “Student Hijo”. Buku tersebut dianggap akan mengganggu kestabilan politik yang ada. Keamanan dan ketertiban (rust en orde) akan terganggu jika buku tersebut bisa dibaca oleh khalayak ramai, terutama para pelajar yang sudah mulai memiliki semangat nasionalisme.
Kemudian pada masa Orde Baru banyak buku referensi yang tidak boleh digunakan para pembuat buku teks sejarah. Badan yang ditunjuk sebagai badan sensor adalah Kejaksaan Agung RI. Kejakgung diharuskan meneliti dulu terhadap buku-buku referensi yang bisa beredar di publik. Kalau dianggap akan mengganggu “rust en orde” seperti zaman colonial, maka buku tersebut akan di-black list dan dilarang terbit. Ini terjadi ketika karya referensi G 30 S yang disusun oleh Ben Anderson dan Ruth T. McVey dari Cornell University, yang dikenal dengan “Cornell Paper” dilarang beredar. Alasan yang berkembang adalah bahwa karya tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Seharusnya “Cornell Paper” diletakkan kedalam posisi sebagai salah satu bentuk penafsiran sejarah, bukan ancaman signifikan, karena karya tersebut dibuat untuk tujuan ilmiah, bukan menyudutkan seseorang.
Sekarang zaman sudah berubah, keterbukaan informasi bisa didapatkan hanya dengan satu klik saja. Siswa dan guru sekolah serta penyusun buku, tidak perlu susah-susah lagi dalam mencari informasi sejarah. Hasil-hasil penelitian baru tentang sejarah Indonesia, salah satunya tentang peristiwa G 30 S, bisa diambil melalui browsing internet. Informasi yang ada di internet adalah informasi tanpa batasan Kejakgung atau pemerintah. Meskipun dilarang oleh pemerintah buku-buku teks sejarah 2004, informasi G 30 S bisa dicari oleh siswa di internet.
Penarikan dan pelarangan yang dikeluarkan oleh Kejakgung RI sudah telat atau sudah percuma. Penyusun buku, guru dan siswa zaman sekarang sudah dipengaruhi oleh efek global dengan kemudahan mencari hal yang baru. Keingintahuan yang besar ini harusnya dibarengi dengan ketersediaan buku teks yang mumpuni. Buku teks yang bisa membangun daya kritis bagi siswa yang notabene-nya akan menjadi generasi penerus. Bagi siswa SMA zaman sekarang yang disebut sebagai generasi instant, apapun yang mereka ingin ketahui harus bisa didapatkan dengan mudah. Buku teks yang membatasi ruang pengetahuan mereka tentu saja tidak akan mereka cari. Daya kritis mereka sudah lebih maju seiring dengan majunya metode pendidikan yang diterapkan oleh guru-guru mereka. Dengan banyaknya alternatif tentang peristiwa G 30 S, tentunya akan terbentuk ruang dialog di kelas-kelas. Ruang dialog ini banyak manfaatnya, karena dialog itu pasti dua arah, kalau doktrin itu satu arah. Buku teks bukan doktrin seperti P4 atau Tubapi (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi), dia adalah sumber pengetahuan buat siswa.
Mundur Kembali ke Kurikulum 1994
Departemen Pendidikan Nasional sebagai badan yang bertanggung jawab terhadap jalannya pendidikan nasional mengambil tindakan aktif terhadap kebijakan Kejakgung. Mendiknas Bambang Sudibyo, tanggal 12 Maret 2007, mengambil keputusan untuk kembali ke kurikulum 1994. Bagi sekolah yang sudah menggunakan kurikulum 2004 dalam pendidikan sejarahnya, harus kembali ke kurikulum 1994. Tentunya kebijakan ini bukanlah solusi terbaik bagi pendidikan sejarah di Indonesia. Karena kurikulum ini tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi 1998.
Kita tahu kurikulum tersebut dibuat pada masa Orde Baru yang sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa penulisan sejarahnya banyak dimanipulasi. Kurikulum sejarah 1994 mungkin akan memenuhi keinginan Kejakgung yang ingin mencantumkan kembali nama “PKI” dibelakangnya. Terlepas dari benar atau tidaknya PKI terlibat, namun penelitian-penelitian terbaru yang menggunakan fakta-fakta terbaru harus tetap disajikan ke siswa, karena mereka pun sudah dengar dari mana-mana saja bahwa peristiwa G 30 S bukanlah sesuai yang ada di buku teks 1994.
Kebijakan Mendiknas ini seolah membuat dunia pendidikan sejarah Indonesia kembali mundur 10 tahun ke belakang. Hal ini sangat kontras dengan yang terjadi di negara lain. Kenapa? Karena hanya satu peristiwa sejarah saja membuat dunia pendidikan sejarah Indonesia jadi mainan para pejabat tinggi yang mungkin tidak mengerti makna di balik peristiwa sejarah. Hal fundamental yang bisa diambil dari peristiwa sejarah adalah supaya generasi mendatang tidak mengulanginya lagi. Generasi sekarang bisa menuliskan sejarahnya sendiri, mereka tentunya punya versi sendiri.
Kenapa Harus G 30 S? Ancaman Amnesia Sejarah
Beberapa pekan lalu, sejarawan senior Anhar Gonggong dalam sebuah diskusi tentang peradaban bangsa, mengatakan bahwa sekarang ini bangsa Indonesia sudah mulai luntur nilai nasionalismenya. Pemahaman atas sejarah bangsa sudah mulai hilang dari setiap jati diri manusia Indonesia. Ini sedikit banyak diakibatkan oleh pendidikan sejarah yang kurang diminati oleh generasi muda. Bagi para siswa SMA dan SMP sekarang sejarah bukanlah pelajaran utama yang harus mendapatkan prioritas bagi banyak. Mungkin ini juga yang menjadi pegangan bagi penentu kebijakan pendidikan nasional.
Diantara 13 mata pelajaran umum yang ada di sekolah, sejarah mungkin menjadi prioritas terbawah. Faktor inilah yang ikut membuat siswa sekolah tidak memahami sejarah bangsanya. Sudah menjadi prioritas terbawah, jadi bahan polemik bagi elit negeri ini, akhirnya yang muncul kejenuhan terhadap pelajaran sejarah. Problemnya selalu sama setiap pemerintahan pasca reformasi, yakni G 30 S. Seolah tidak pernah kehabisan polemik, peristiwa ini menjadi sentral dari kerumitan pendidikan sejarah di Indonesia. Dan PKI mendapatkan kesialannya lagi, bahwa dialah biang kerok diantara hitamnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Padahal banyak sekali peristiwa sejarah di Indonesia yang terjadi dan sangat mempengaruhi perjalanan bangsa ini. Sebagai contoh bagaimana terjadi pembantaian massal terhadap etnis Tionghoa tahun 1998, Peristiwa Tanjung Priok, DOM Aceh, PRRI/Permesta, Pemberontakan DI/TII, dan yang lain-lain.
Kenapa peristiwa-peristiwa diatas tidak bisa mendapatkan perhatian yang khusus dari polemik yang ada. Seolah-olah peristiwa ini tidak memiliki implikasi signifikan bagi pendidikan sejarah di Indonesia. Apakah karena orang minoritas Tionghoa sehingga pembantaian terhadap etnis mereka tidak menjadi polemik, apakah karena hanya orang Islam dari kelompok tertentu saja yang menjadi korban dari peristiwa Tanjung Priok, apakah hanya problem orang Sumatera dan Sulawesi saja yang bermasalah dengan Jakarta pada peristiwa PRRI/ Permesta, apakah hanya karena orang Aceh saja, masalah DOM tidak perlu mendapatkan porsi besar, apakah pendirian NII oleh DI/TII bukan ancaman serius buat bangsa.
Peristiwa-peristiwa diatas hanyalah contoh yang sepatutnya mendapat perhatian secara serius dalam pendidikan sejarah. Ancaman yang dibuat oleh peristiwa-peristiwa diatas tersebut adalah disintegrasi, adanya kekecewaan daerah, agama dan etnis tertentu yang akan membuat negeri ini hancur. G 30 S adalah peristiwa perebutan kekuasaan elit politik yang memanfaatkan kondisi konflik horizontal di daerah-daerah demi kekuasaan di Jakarta. Apakah karena dia yang paling banyak dapat perhatian dari dunia luar, sehingga G 30 S menjadi satu-satunya peristiwa yang bisa menjadi polemik?
Jika para pembuat kebijakan hanya terpaku pada G 30 S, pendidikan sejarah Indonesia akan kering dari pengetahuan. G 30 S secara tidak langsung kembali menjadi bahaya laten dan ketakutan yang luar biasa bagi Kejakgung dan pemerintah. Mereka sendiri yang kembali membuat G 30 S dan PKI menjadi idola baru bagi anak-anak sekolah. Anak-anak sekolah sekarang bisa jadi langsung membenci kebijakan pemerintah ini, sehingga muncullah antipati terhadap sejarah bangsanya. Lama kelamaan bangsa ini akan mengalami amnesia sejarah, karena generasi penerusnya meninggalkan sejarah bangsanya sendiri, dan mereka lebih suka membaca sejarah perang-perang yang ada di Eropa, Perang Saudara Amerika, Perang Dunia I dan II, Naziisme Hitler, Perang Dingin, dan eksplorasi samudera yang dilakukan oleh orang-orang Eropa.
Kesimpulan
Untuk kondisi sekarang ini, menurut intelejen Kejakgung, PKI dan idelogi komunisme masih berbahaya sehingga perlu dilarang. Tidak berkaca pada komunisme di Uni Soviet yang hancur berantakan ditinggalkan oleh rakyatnya sendiri, RRC yang sekarang cenderung ke arah kapitalisme, komunisme sudah hancur ketika ekonomi pasar bebas sudah merajalela. Jadikan G 30 S sebagai pelajaran menganalisa peristiwa sejarah yang rumit buat siswa, bukan sebagai indikator bahaya, atau justifikasi terhadap kelompok tertentu. Jika alasan itu yang digunakan, penyakit Orde Baru muncul lagi.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kejakgung dan Kebijakan Mendiknas yang mengharuskan kembali ke kurikulum 1994, harus kita ambil positifnya saja. Bahwa ini kesempatan bagi elemen bangsa yang concern dalam pendidikan sejarah di Indonesia untuk segera menyusun program-program baru guna memperbaiki pendidikan sejarah di Indonesia. Sudah saatnya baik Kejakgung, Depdiknas (Pusat Kurikulum), pihak Guru, Akademisi, dan peneliti sejarah untuk duduk bersama mencari solusi terbaik bagi pendidikan sejarah di Indonesia. Jika terjadi amnesia sejarah dan antipati terhadap sejarah Indonesia yang sudah kerap dianggap palsu oleh siswa, inilah bahaya terbesar yang dihadapi oleh bangsa ini kedepannya. Bagaimana mungkin kita melihat masa depan bangsa ini dipegang oleh anak-anak sekolah yang tidak memahami sejarah bangsanya yang dulu pernah memiliki kebesaran sebagai salah satu pusat perdangangan dunia. Keberlangsungan dan kebesaran bangsa ini ada di pundak mereka.
Onghokham dan Sejarah Indonesia
Onghokham adalah sejarawan dan sekaligus cendikiawan. Sebagai sejarawan, ia piawai menjadi ‘saksi langsung’ dan tahu ‘tentang apa yang terjadi’ terhadap peristiwa yang menjadi perhatiannya. Sebagai cendikiawan, ia peka terhadap denyut kehidupan sosial, politik, dan budaya masyarakat sekitarnya. Kombinasi keduanya menjadikan karya dan pemikiran Onghokham unik dan inspiratif. Uraiannya mengenai peran dan sosok jago dalam sejarah Indonesia periode kolonial memberikan pemahaman kongkrit tentang bagaimana sifat dan bentuk kekuasaan politik di Indonesia, paling tidak sepanjang periode kekuasaan otoriter Orde Baru. Begitu juga ulasannya mengenai tuyul yang mencerminkan kesarjanaan dan kecendikiawanan Onghokham dalam mengangkat psikologi populer rakyat petani di pedesaan Jawa dalam menghadapi krisis dan eksploitasi.
Pada akhir dekade 1960an dan awal 1970an, semangat jaman dunia banyak dipengaruhi sentimen anti-perang Vietnam. Kalangan intelektualnya terpana untuk menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi keberhasilan tentara-petani Vietnam melawan kekuatan perang modern Amerika Serikat. Karya-karya penting mengenai tema petani dan perubahan sosial dan pendekatan ‘sejarah dari bawah’ menjadi arus pemikiran populer di kalangan ilmuwan sosial di dunia saat itu. Onghokham menjadi bagian semangat jaman ini. Disertasi doktoral yang dipertahankannya di Yale University (Onghokham: 1975) berbicara tentang perubahan sosial di Madiun pada abad 19 dan 20 yang menyoroti dinamika hubungan antara petani dan pryayi Jawa dibawah kekuasaan kolonialisme Belanda.
Dalam salah satu bagian bab disertasi doktoralnya, Onghokham menggambarkan sebuah pertentangan menarik antara para bupati Jawa yang semakin merosot kekuasaan politik mereka dengan para pejabat Belanda. Bagian ini kemudian ditulis menjadi sebuah artikel panjang yang menjadi masterpiece pemikiran Onghokham mengenai sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia: The Inscrutable and the Paranoids: An Investigation into the sources of the Brotodiningrat Affair [Onghokham: 1978]. Kisah Brotodiningrat menggambarkan secara rinci upaya sia-sia pemimpin tradisional Jawa—golongan pryayi—untuk kembali menghidupkan kekuasaan tradisional mereka berhadapan dengan mesin birokrasi kolonial yang semakin canggih.
Kritisisme, komitmen dan kepekaan sosial-politik adalah jantung pemikiran yang melatarbelakangi karya-karya tulis Onghokham. Termasuk juga perhatiannya terhadap peran kaum intelektual dan hubungannya dengan perubahan sosial dan politik. Dalam karya berjudul Runtuhnya Hindia Belanda, yang mencakup periode antara 1930an dan 1940an, Onghokham menggambarkan ‘kekosongan’ dinamika pergerakan anti-kolonial di Indonesia saat itu. Faktor yang ditekankannya adalah Indonesia telah kehilangan tokoh-tokoh intelektual yang menginspirasikan gerakan anti-kolonial sebelumnya dengan pembuangan tokoh-tokoh seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir dan termasuk hilangnya tokoh-tokoh pergerakan kiri yang telah dihancurkan oleh penguasa kolonial setelah pemberontakan komunis yang gagal pada tahun 1926. Terputusnya hubungan antara intelektual dan massa telah menjadikan periode tersebut sebagai periode yang paling tidak menarik dari segi kedalaman bentuk pergerakan dan kekayaan intelektual yang mengisi dinamiknya.
***
Diluar kesarjanaan dan kecendikiawanannya, Onghokham adalah pribadi yang menarik. Dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1933 di Surabaya, Onghokham tumbuh besar dalam lingkungan elite kelas menengah perkotaan yang dekat dengan segala sesuatu yang berbau barat (baca: Belanda) dan gagasan-gagasan liberal. Onghokham mengenyam pendidikan menengah di Surabaya, Hogere Burger School (HBS), yang mayoritas murid berkebangsaan Eropa. Dalam periode ini ketertarikannya terhadap sejarah muncul, melalui pembacaan terhadap kisah ratu Prancis Marie Antoniette yang mati di-goulletine dalam peristiwa revolusi Prancis (1789-1792). Dalam kaitan ini, pengetahuan mengenai dunia barat mungkin lebih baik dibanding lingkungan sekitarnya dalam pikiran Onghokham muda.
Revolusi Indonesia dan pendudukan Jepang memberikan orientasi baru dalam pikirannya mengenai ‘Indonesia’. Dalam perjalanan pengungsian dari Surabaya menuju Malang saat Belanda jatuh dan Jepang masuk Indonesia pada bulan Maret 1942, Onghokham menyaksikan sesuatu yang lain diluar lingkungan kecil keluarga, sekolah dan teman permainan: masyarakat pribumi dari beragam latar belakang sosial yang juga turut mengungsi. Ia juga menyaksikan para pemuda berambut gondrong yang menjadi kekuatan dinamik revolusi Indonesia. Sesuatu mengenai Indonesia, yang saat itu masih bergejolak dan kumuh, hadir dalam pemikiran Onghokham. Bentuknya lebih dari sekedar kesadaran intelektual, meliputi simpati dan pemihakan terhadap orang-orang kecil yang menjadi korban dari peristiwa-peristiwa besar. Kesadaran ini konsisten dengan minat dan perhatiannya sebagai seorang akademisi ketika belajar sejarah di Fakultas Sastra UI.
Meskipun saat kuliah ia telah banyak menulis soal-soal berkait dengan kedudukan masyarakat Tionghoa di Indonesia, tetapi subyek sejarah Indonesia yang serius tertuang dalam skripsi sarjana muda yang ditulisnya mengenai saminisme yang menggambarkan resistensi sebuah kelompok petani di Indonesia menghadapi sistem kekuasaan modern. Disinilah sosok pribadi Onghokham menjadi menarik. Onghokham berhasil keluar dari dunia kecil keluarga, latar belakang ras, dan kelas sosial untuk kemudian melihat dunia Indonesia yang luas. Sebuah keberhasilan yang mungkin jarang didapat dengan mudah oleh para intelektual lainnya di Indonesia. Secara personal hal ini tergambar dari pola pergaulan dewasa Onghokham yang dengan mudah berhubungan dengan kalangan elite sosial dan politik di Indonesia, termasuk kalangan diplomat asing dan teman-teman dari manca-negara. Pada saat sama berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang kebanyakan dalam perjalanan di bis kota, saat berbelanja di pasar dan saat mengajar ilmu sejarah bagi para muridnya, dan termasuk hubungan dekat dengan para pembantunya.
***
Manusia—dan sudah barang tentu peristiwa—adalah subyek utama perhatian Onghokham, seperti pernah ia berkata: ‘Sejarah adalah mengenai orang, bukan struktur, sistem ataupun institusi.’ Nampaknya ini pula yang membentuk keluwesan cara berpikir Onghokham sebagai sejarawan dan cendikiawan. Dan ini menyebabkan ia kurang menyukai apa yang oleh ilmuwan sosial sebagai metodologie. “Pengalaman manusia begitu kaya, dan terlalu sempit untuk ditangkap oleh sebuah metodologi,” demikian keyakinan Onghokham. Sebagai cendikiawan ia telah berhasil—dari sudut pandangnya—untuk menyuarakan hal-hal penting mengenai keadilan dan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia. Sebagai sejarawan ia telah berhasil membuka pintu memahami Indonesia yang kaya nuansa.
Satu kekurangan adalah sebuah karya tulis lengkap yang dapat dianggap menjadi masterpiece pemikiran Onghokham. Saat ini kita baru mendapatkan penggalan gambaran itu melalui serangkaian artikel yang ditulisnya. Pikiran Onghokham mengenai sejarah Indonesia masih berserak-serak dalam satu pigura ibarat lukisan pointilism, yang mengingatkan kita pada sosok Richard Cobb, ahli sejarah Prancis berkebangsaan Inggris yang menjadi favorit Onghokham. Tidak heran bila bentuk pemikiran Onghokham bisa dibentuk oleh siapa saja yang membaca dan mengumpulkan karya tulisnya. Onghokham pada suatu saat bisa menjadi seorang pengamat masalah Tionghoa, bisa muncul sebagai orang yang piawai dalam masalah budaya politik masyarakat Jawa dan lainnya seperti muncul dalam berbagai terbitan kumpulan tulisan Onghokham di Indonesia.
Serangan stroke pada tahun 2001 mungkin juga menjadi faktor penghalang, meskipun ia tetap bersemangat menulis meskipun hanya dengan tangan kanannya. Suasana jaman juga barangkali mempengaruhi produktivitasnya menulis. Setelah reformasi politik Indonesia menjadi stabil, kuantitas tulisannya menurun dan soal-soal politik kontemporer semakin jarang muncul, terakhir tulisannya tentang ‘eksekutif yang mahal’. Mungkin ini berkait dengan sikap kecendikawanan yang merasa kehilangan tantangan setelah rejim Orde Baru tumbang. ‘Orde Baru dan sistem kekuasaannya ibarat karikatur bagi saya dalam melihat sejarah, khususnya kolonialisme Belanda di Indonesia’, seperti pernah dilontarkannya. Di sini kita menemukan komitmen dan keberpihakan sebagai cendikiawan sebagai syarat penting pemikiran Onghokham mengenai sejarah Indonesia.
Sekaligus hal itu menjadi dasar bagi keunikan sumbangan Onghokham dalam penulisan sejarah Indonesia. Onghokham tidak pernah mengikatkan diri pada rejim yang berkuasa, dan senantiasa selalu berdiri di luar kekuasaan tersebut. Dalam kaitan ini Onghokham dekat dengan denyut nadi kaum pro-demokrasi di Indonesia. Tulisan-tulisannya menampilkan “sejarah yang lain” di luar arus mainstream penulisan sejarah yang militeristik dan birokratik. Ketika banyak buku sejarah memberikan legitimasi pada kekuasaan otoriter Orde Baru, atau paling tidak melarikan diri atas kontrol kekuasaan itu, Onghokham menyuarakan “sesuatu yang lain” sebagai oposisi terhadap kekuasaan rejim. Kemarahannya pada otoritarianisme dan militerisme, misalnya dituangkan dalam tulisan-tulisannya yang menyorot sosok pembesar, pembentukan elit militer dan politik dalam sejarah Indonesia. Inilah sejarah yang lain yang disuarakan Onghokham dan menegaskan posisi serta sumbangannya bagi pemikiran sejarah Indonesia. Onghokham telah menjadi perwakilan intelektual—melalui pengetahuannya tentang sejarah—bagi para aktivis demokrasi di Indonesia di bawah rejim Orde Baru.
Sumbangan lain terwujud pada saat Onghokham masih kuliah dan kemudian menjadi dosen di FSUI melalui perkenalannya dengan para mahasiswa Universitas Cornell yang saat itu sedang mengkaji Indonesia, seperti almarhum Daniel Lev, Benedict Anderson dan Herbert Feith. Onghokham berperan penting menjadi pintu gerbang bagi mahasiswa-mahasiswa itu untuk mengenali Indonesia. Pandangan-pandangan Onghokham yang kritis dan tajam mengenai situasi Indonesia adalah pintu terbaik bagi orang-orang di luar Indonesia mengerti denyut dan hiruk-pikuk politik Indonesia yang saat itu sedang dilanda arus pertentangan ideologi tajam di bawah perang dingin, dan terus membentuk sesuatu bernama Indonesia. Dan sampai saat ini, melalui tulisan-tulisannya, Onghokham terus menjadi pintu gerbang yang menarik bagi siapapun untuk mengenal Indonesia.
Dalam tahun-tahun terakhir Onghokham masih memiliki obsesi: menterjemahkan karya-karya Ferdinand Braudel tentang peradaban dunia memasuki abad kapitalisme ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin ini adalah sub-kesadaran dalam diri Onghokham untuk membangun sebuah bentuk pemikiran yang bulat dan utuh sebagai sejarawan. Dalam sebuah percakapan, Onghokham telah melontarkan sebuah pertanyaan yang harapannya akan menjadi sebuah karya pemikiran lengkap: Apa yang menjadikan masyarakat Indonesia (khususnya Jawa) selama berabad-abad tetap survive? Ia mengajukan dugaan bahwa pemilikan atas tanah adalah dasar dari survival itu. Tetapi Onghokham telah meninggalkan kita semua pada sore hari tanggal 30 Agustus dalam usia 74 tahun. Pemikirannya belum lengkap dan masih harus dikerjakan oleh para sejarawan dan cendikiawan lainnya di Indonesia. Selamat jalan Onghokham.
Pada akhir dekade 1960an dan awal 1970an, semangat jaman dunia banyak dipengaruhi sentimen anti-perang Vietnam. Kalangan intelektualnya terpana untuk menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi keberhasilan tentara-petani Vietnam melawan kekuatan perang modern Amerika Serikat. Karya-karya penting mengenai tema petani dan perubahan sosial dan pendekatan ‘sejarah dari bawah’ menjadi arus pemikiran populer di kalangan ilmuwan sosial di dunia saat itu. Onghokham menjadi bagian semangat jaman ini. Disertasi doktoral yang dipertahankannya di Yale University (Onghokham: 1975) berbicara tentang perubahan sosial di Madiun pada abad 19 dan 20 yang menyoroti dinamika hubungan antara petani dan pryayi Jawa dibawah kekuasaan kolonialisme Belanda.
Dalam salah satu bagian bab disertasi doktoralnya, Onghokham menggambarkan sebuah pertentangan menarik antara para bupati Jawa yang semakin merosot kekuasaan politik mereka dengan para pejabat Belanda. Bagian ini kemudian ditulis menjadi sebuah artikel panjang yang menjadi masterpiece pemikiran Onghokham mengenai sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia: The Inscrutable and the Paranoids: An Investigation into the sources of the Brotodiningrat Affair [Onghokham: 1978]. Kisah Brotodiningrat menggambarkan secara rinci upaya sia-sia pemimpin tradisional Jawa—golongan pryayi—untuk kembali menghidupkan kekuasaan tradisional mereka berhadapan dengan mesin birokrasi kolonial yang semakin canggih.
Kritisisme, komitmen dan kepekaan sosial-politik adalah jantung pemikiran yang melatarbelakangi karya-karya tulis Onghokham. Termasuk juga perhatiannya terhadap peran kaum intelektual dan hubungannya dengan perubahan sosial dan politik. Dalam karya berjudul Runtuhnya Hindia Belanda, yang mencakup periode antara 1930an dan 1940an, Onghokham menggambarkan ‘kekosongan’ dinamika pergerakan anti-kolonial di Indonesia saat itu. Faktor yang ditekankannya adalah Indonesia telah kehilangan tokoh-tokoh intelektual yang menginspirasikan gerakan anti-kolonial sebelumnya dengan pembuangan tokoh-tokoh seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir dan termasuk hilangnya tokoh-tokoh pergerakan kiri yang telah dihancurkan oleh penguasa kolonial setelah pemberontakan komunis yang gagal pada tahun 1926. Terputusnya hubungan antara intelektual dan massa telah menjadikan periode tersebut sebagai periode yang paling tidak menarik dari segi kedalaman bentuk pergerakan dan kekayaan intelektual yang mengisi dinamiknya.
***
Diluar kesarjanaan dan kecendikiawanannya, Onghokham adalah pribadi yang menarik. Dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1933 di Surabaya, Onghokham tumbuh besar dalam lingkungan elite kelas menengah perkotaan yang dekat dengan segala sesuatu yang berbau barat (baca: Belanda) dan gagasan-gagasan liberal. Onghokham mengenyam pendidikan menengah di Surabaya, Hogere Burger School (HBS), yang mayoritas murid berkebangsaan Eropa. Dalam periode ini ketertarikannya terhadap sejarah muncul, melalui pembacaan terhadap kisah ratu Prancis Marie Antoniette yang mati di-goulletine dalam peristiwa revolusi Prancis (1789-1792). Dalam kaitan ini, pengetahuan mengenai dunia barat mungkin lebih baik dibanding lingkungan sekitarnya dalam pikiran Onghokham muda.
Revolusi Indonesia dan pendudukan Jepang memberikan orientasi baru dalam pikirannya mengenai ‘Indonesia’. Dalam perjalanan pengungsian dari Surabaya menuju Malang saat Belanda jatuh dan Jepang masuk Indonesia pada bulan Maret 1942, Onghokham menyaksikan sesuatu yang lain diluar lingkungan kecil keluarga, sekolah dan teman permainan: masyarakat pribumi dari beragam latar belakang sosial yang juga turut mengungsi. Ia juga menyaksikan para pemuda berambut gondrong yang menjadi kekuatan dinamik revolusi Indonesia. Sesuatu mengenai Indonesia, yang saat itu masih bergejolak dan kumuh, hadir dalam pemikiran Onghokham. Bentuknya lebih dari sekedar kesadaran intelektual, meliputi simpati dan pemihakan terhadap orang-orang kecil yang menjadi korban dari peristiwa-peristiwa besar. Kesadaran ini konsisten dengan minat dan perhatiannya sebagai seorang akademisi ketika belajar sejarah di Fakultas Sastra UI.
Meskipun saat kuliah ia telah banyak menulis soal-soal berkait dengan kedudukan masyarakat Tionghoa di Indonesia, tetapi subyek sejarah Indonesia yang serius tertuang dalam skripsi sarjana muda yang ditulisnya mengenai saminisme yang menggambarkan resistensi sebuah kelompok petani di Indonesia menghadapi sistem kekuasaan modern. Disinilah sosok pribadi Onghokham menjadi menarik. Onghokham berhasil keluar dari dunia kecil keluarga, latar belakang ras, dan kelas sosial untuk kemudian melihat dunia Indonesia yang luas. Sebuah keberhasilan yang mungkin jarang didapat dengan mudah oleh para intelektual lainnya di Indonesia. Secara personal hal ini tergambar dari pola pergaulan dewasa Onghokham yang dengan mudah berhubungan dengan kalangan elite sosial dan politik di Indonesia, termasuk kalangan diplomat asing dan teman-teman dari manca-negara. Pada saat sama berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang kebanyakan dalam perjalanan di bis kota, saat berbelanja di pasar dan saat mengajar ilmu sejarah bagi para muridnya, dan termasuk hubungan dekat dengan para pembantunya.
***
Manusia—dan sudah barang tentu peristiwa—adalah subyek utama perhatian Onghokham, seperti pernah ia berkata: ‘Sejarah adalah mengenai orang, bukan struktur, sistem ataupun institusi.’ Nampaknya ini pula yang membentuk keluwesan cara berpikir Onghokham sebagai sejarawan dan cendikiawan. Dan ini menyebabkan ia kurang menyukai apa yang oleh ilmuwan sosial sebagai metodologie. “Pengalaman manusia begitu kaya, dan terlalu sempit untuk ditangkap oleh sebuah metodologi,” demikian keyakinan Onghokham. Sebagai cendikiawan ia telah berhasil—dari sudut pandangnya—untuk menyuarakan hal-hal penting mengenai keadilan dan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia. Sebagai sejarawan ia telah berhasil membuka pintu memahami Indonesia yang kaya nuansa.
Satu kekurangan adalah sebuah karya tulis lengkap yang dapat dianggap menjadi masterpiece pemikiran Onghokham. Saat ini kita baru mendapatkan penggalan gambaran itu melalui serangkaian artikel yang ditulisnya. Pikiran Onghokham mengenai sejarah Indonesia masih berserak-serak dalam satu pigura ibarat lukisan pointilism, yang mengingatkan kita pada sosok Richard Cobb, ahli sejarah Prancis berkebangsaan Inggris yang menjadi favorit Onghokham. Tidak heran bila bentuk pemikiran Onghokham bisa dibentuk oleh siapa saja yang membaca dan mengumpulkan karya tulisnya. Onghokham pada suatu saat bisa menjadi seorang pengamat masalah Tionghoa, bisa muncul sebagai orang yang piawai dalam masalah budaya politik masyarakat Jawa dan lainnya seperti muncul dalam berbagai terbitan kumpulan tulisan Onghokham di Indonesia.
Serangan stroke pada tahun 2001 mungkin juga menjadi faktor penghalang, meskipun ia tetap bersemangat menulis meskipun hanya dengan tangan kanannya. Suasana jaman juga barangkali mempengaruhi produktivitasnya menulis. Setelah reformasi politik Indonesia menjadi stabil, kuantitas tulisannya menurun dan soal-soal politik kontemporer semakin jarang muncul, terakhir tulisannya tentang ‘eksekutif yang mahal’. Mungkin ini berkait dengan sikap kecendikawanan yang merasa kehilangan tantangan setelah rejim Orde Baru tumbang. ‘Orde Baru dan sistem kekuasaannya ibarat karikatur bagi saya dalam melihat sejarah, khususnya kolonialisme Belanda di Indonesia’, seperti pernah dilontarkannya. Di sini kita menemukan komitmen dan keberpihakan sebagai cendikiawan sebagai syarat penting pemikiran Onghokham mengenai sejarah Indonesia.
Sekaligus hal itu menjadi dasar bagi keunikan sumbangan Onghokham dalam penulisan sejarah Indonesia. Onghokham tidak pernah mengikatkan diri pada rejim yang berkuasa, dan senantiasa selalu berdiri di luar kekuasaan tersebut. Dalam kaitan ini Onghokham dekat dengan denyut nadi kaum pro-demokrasi di Indonesia. Tulisan-tulisannya menampilkan “sejarah yang lain” di luar arus mainstream penulisan sejarah yang militeristik dan birokratik. Ketika banyak buku sejarah memberikan legitimasi pada kekuasaan otoriter Orde Baru, atau paling tidak melarikan diri atas kontrol kekuasaan itu, Onghokham menyuarakan “sesuatu yang lain” sebagai oposisi terhadap kekuasaan rejim. Kemarahannya pada otoritarianisme dan militerisme, misalnya dituangkan dalam tulisan-tulisannya yang menyorot sosok pembesar, pembentukan elit militer dan politik dalam sejarah Indonesia. Inilah sejarah yang lain yang disuarakan Onghokham dan menegaskan posisi serta sumbangannya bagi pemikiran sejarah Indonesia. Onghokham telah menjadi perwakilan intelektual—melalui pengetahuannya tentang sejarah—bagi para aktivis demokrasi di Indonesia di bawah rejim Orde Baru.
Sumbangan lain terwujud pada saat Onghokham masih kuliah dan kemudian menjadi dosen di FSUI melalui perkenalannya dengan para mahasiswa Universitas Cornell yang saat itu sedang mengkaji Indonesia, seperti almarhum Daniel Lev, Benedict Anderson dan Herbert Feith. Onghokham berperan penting menjadi pintu gerbang bagi mahasiswa-mahasiswa itu untuk mengenali Indonesia. Pandangan-pandangan Onghokham yang kritis dan tajam mengenai situasi Indonesia adalah pintu terbaik bagi orang-orang di luar Indonesia mengerti denyut dan hiruk-pikuk politik Indonesia yang saat itu sedang dilanda arus pertentangan ideologi tajam di bawah perang dingin, dan terus membentuk sesuatu bernama Indonesia. Dan sampai saat ini, melalui tulisan-tulisannya, Onghokham terus menjadi pintu gerbang yang menarik bagi siapapun untuk mengenal Indonesia.
Dalam tahun-tahun terakhir Onghokham masih memiliki obsesi: menterjemahkan karya-karya Ferdinand Braudel tentang peradaban dunia memasuki abad kapitalisme ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin ini adalah sub-kesadaran dalam diri Onghokham untuk membangun sebuah bentuk pemikiran yang bulat dan utuh sebagai sejarawan. Dalam sebuah percakapan, Onghokham telah melontarkan sebuah pertanyaan yang harapannya akan menjadi sebuah karya pemikiran lengkap: Apa yang menjadikan masyarakat Indonesia (khususnya Jawa) selama berabad-abad tetap survive? Ia mengajukan dugaan bahwa pemilikan atas tanah adalah dasar dari survival itu. Tetapi Onghokham telah meninggalkan kita semua pada sore hari tanggal 30 Agustus dalam usia 74 tahun. Pemikirannya belum lengkap dan masih harus dikerjakan oleh para sejarawan dan cendikiawan lainnya di Indonesia. Selamat jalan Onghokham.
Langganan:
Postingan (Atom)